Sabtu, 12 November 2011

Untuk Generasi Muda Shaleh Shalehah ..





Setelah itu, Mentoring ...





Rihlah Kali Ini ... (Sebuah Catatan dan Pesan)



Meniti Perjalanan Menuju Allah

“Meski telah lama kutinggalkan rimbunnya bambu, disetiap tiupan seorang gembala selalu kusenandungkan rintih kerinduan, agar semua pengembara yang melintasi ladang tahu; asal-muasalku dan apa arti keberadaanku.”

Ilahy, Engkau lah yang menjadikanku untuk sesuatu yang aku tak tahu kecuali setelah Engkau beri tahu; itupun tak mesti aku mengerti sepenuhnya, kecuali sekedar daya dan kapasitas yang Engkau berikan padaku untuk memahami. Jika bukan karena pertolonganMu, tidak mungkin aku tahu setitik debu pun; lantas bagaimana mungkin aku berani mendongak ke langit apalagi berani memanjatnya.



Ilahy, siapakah aku yang lahir dari setetes air kehinaan, muncul dari ketiadaan yang tak mungkin dibayangkan, lalu Kau angkat aku ke derajat paling mulia dari seluruh makhluq Mu, Kau tuntun aku meniti tingkat-tingkat cahaya, Kau ampuni setiap kesalahan yang aku lakukan selama aku masih menginginkan Mu; ya, aku menginginkan Mu, karena sesuatu yang sungguh aku tak tahu, kecuali sebatas apa yang Engkau beri tahu, dan pastilah Engkau sendiri yang menyematkan keinginan itu di hatiku, lalu membuatku menginginkan Mu, lantas bagaimana mungkin aku berani berkata-kata dihadapan Mu, kecuali sekedar sedikit kekuatan untuk menyebut nama Mu dengan tertatih, sembari menundukkan kepala dalam-dalam.



Ilahy, bagaimana debu ini mampu menemui Mu? Bagaimana aku mampu menyatakan aku mencintai Mu, sementara Kau sendiri yang menghembuskan cinta itu ke dalam hatiku sembunyi-sembunyi, Kau yang membuat aku mencintai Mu; tentu saja dengan cinta terbatas yang aku mengerti, sebagaimana pengertian yang Kau berikan padaku, dan pasti tak sepenuhnya aku bisa memahami. Engkau memang meliputi segala sesuatu, namun bagaimana mungkin aku berani mengatakan aku adalah Engkau, sebagaimana seorang anak kecil pun tahu bahwa setiap mawar adalah bunga, bukan setiap bunga adalah mawar. Maka, bagaimana debu ini mampu menyesap air laut Mu, kecuali sebatas tetes yang Kau tuangkan ke dalam mulut lancangku dan lidah hinaku; itupun sebatas daya sesapku yang pasti tak sepenuhnya aku bisa menyesap.



“Akhirnya ku duduk di sudut kecil ladang itu, menggigil dalam kerinduan, tertatih menyebut, “Ilahy … Anta Maqshudy … Wa Ridloka … Mathluby…”.”



Muhammad Zainur Rakhman, Mantyasih.