Selasa, 05 April 2011

Padepokan Mantyasih
Ki Ageng Mantyasih

Kisah ini dimulai dari berpuluh-puluh tahun yang akan datang, di sebuah tempat yang berada di pusat tanah jawa. Konon ada seorang laki-laki yang berpakaian hitam-hitam, menyepi dipuncak sebuah bukit selama empat puluh malam, dan pada malam ke 41 dia menancapkan sebuah tongkat yang kemudian tumbuh menjadi sebuah pohon. Disekitar pohon dia bangun sebuah masjid, dan sebuah pondokan, serta sebuah tanah lapang. Disekelilingnya dia buat sebuah kolam yang airnya berasal dari Sendang Kahuripan. Di tepi kolam itu, ia penuhi beraneka tanaman obat-obatan, beragam bunga, berbagai jenis sayuran, kacang-kacangan, dan palawija. Kolam itu sendiri memiliki air yang sangat jernih, dan dihuni oleh berbagai jenis ikan dan udang, juga kura-kura. Sekeliling tempat itu, dia tanami beragam jenis pohon, ada pinus, kelapa, aren, buah-buahan, rerumputan, rotan, bambu dan tebu. Semuanya ditata dengan kesempurnaan dan keindahan yang luar biasa. Tidak lupa, di bawah pohon yang berasal dari tongkatnya itu, dia buat sebuah gubuk kecil dari bambu, tidak berdinding, dan beratapkan ijuk pohon aren. Para pencari kayu yang tersesat ke tempat itu, menangis menyaksikan keindahan bagai surga, lebih-lebih dengan jamuan oleh sang lelaki yang penuh kehangatan. Akhirnya, tempat itu tersiar kemana-mana, dan kemudian orang-orang ramai menyebutnya: Padepokan Mantyasih.
Padepokan itu berada dipuncak bukit. Untuk menuju kesana dapat ditempuh dengan empat jalur pendakian. Para pencari kayu yang menemukan tempat itu pertama kali, semuanya sudah menetap disekitar padepokan, menjadi abdi dan murid sang lelaki. Empat jalur itu berada tepat di utara, timur, selatan, dan barat. Pada masing-masing jalur, terdapat tujuh gerbang, yang jarak antara satu gerbang dengan gerbang yang lainnya tidak bisa diperkirakan. Begitupun untuk sampai ke gerbang ke tujuh, tidak satupun yang bisa memperkirakan berapa lama waktu yang harus ditempuh. Karena ada yang bisa sampai dalam waktu tiga hari, tiga malam, ada yang sehari semalam, bahkan ada yang hanya sepertiga malam. Konon, hal itu sangat tergantung kepada masing-masing orang.
Orang-orang menyebut sang lelaki dengan beraneka sebutan, ada yang menyebut Mas, ada yang menyebut Kang, ada yang menyebut begawan, ada yang menyebut kyai, dan juga ada yang menyebut Ki Ageng. Satu yang tidak berbeda, mereka sama-sama menyematkan kata Mantyasih. Karena setiap orang yang berhasil sampai di puncak, mereka hanya diajarkan satu hal: Jamus Mantyasih, artinya ajaran tentang iman dalam cinta dan kasih. Setelah itu, mereka bisa melalui tujuh gerbang dalam sekejap mata.

Gerbang Pertama: Bebas dari Rasa Bersalah

Rasa bersalah adalah sebuah belenggu jiwa yang membuat jiwa sulit untuk bergerak bebas. Rasa bersalah juga merupakan timbunan beban yang menyebabkan sayap-sayap menjadi berat untuk terkepak, terbang tidak bisa jauh, sementara energi telah terkuras habis.
Rasa bersalah timbul dari fitrah manusia yang selalu menginginkan kesempurnaan. Maka begitu ketidaksempurnaan mewujud, manusia menjadi gelisah dan hilanglah keseimbangan jiwanya.
Jiwa yang kehilangan keseimbangan menyebabkan sulitnya aktivitas dan bertambahnya permasalahan. Oleh karena itu, rasa bersalah ini harus lekas diobati.
Obatnya adalah taubat, yakni pengakuan dengan tulus akan ketidaksempurnaan diri. Sehingga justru saat itulah jiwa akan memulai untuk menjadi sempurna.
Taubat menandakan pemahaman yang benar akan posisi diri dihadapan sang Khalik, sekaligus penegasan bahwa diri sangat membutuhkan ampunan.Taubat yang diterima akan menjadi kunci terbukanya gerbang selanjutnya.

Gerbang Kedua: Bebas dari Rasa Ragu

Ragu merupakan lawan dari yakin. Rasa ragu ini juga menghambat segala macam kesuksesan. Rasa ini timbul dari kehati-hatian yang berlebihan, dan terlalu banyaknya pertimbangan yang semua itu berasal dari ketidakinginan untuk gagal. Sekali lagi, syahwat untuk menjadi sempurna malah menghalangi seseorang menjadi sempurna.
Tatkala jiwa dikuasai bayang-bayang kegagalan, pikiran kemudian berhitung demikian teliti sampai-sampai mematikan intuisi. Matinya intuisi berarti terputusnya petunjuk ke arah solusi yang benar.
Ketegangan terhadap bayang-bayang itulah yang menyebabkan seseorang ragu. Jangan-jangan begini, jangan-jangan begitu. Dan hal itu akhirnya membuat seseorang tidak berani bermimpi atau bercita-cita. Bagaimana mau bercita-cita? Melangkah ke depan saja kaki sudah berhitung yang kanan atau yang kiri, dengan gaya apa, dan dengan ayunan semacam apa, langkah yang dipenuhi keraguan akhirnya menjadi langkah yang dibuat-buat, yang tidak apa adanya.
Sesungguhnya, keragu-raguan bukan hanya menghambat, bahkan justru menjadi petaka paling besar bagi kesuksesan. Kesuksesan harus diraih dengan pikiran dan perasaan yang terpimpin oleh intuisi dan nurani, jika yang terjadi sebaliknya, intuisi dan nurani yang terkebiri oleh pikiran dan perasaan, yakinlah kehancuran tinggal menunggu hitungan satu, dua, tiga. Maka rasa ragu, harus segera diobati.
Adapun obatnya adalah sikap wara’. Yakni segera meninggalkan apa-apa yang diragukan dan teguh menjalankan apa-apa yang memiliki kejelasan.
Hal-hal yang samar begitu banyak disukai oleh manusia. Mereka tidak sadar bahwa mereka itu seperti domba-domba yang bermain-main dipinggir kawanan serigala. Kejatuhan seseorang kepada hal-hal yang terlarang dan berbahaya, lebih karena keberanian mereka untuk menerjang wilayah kesamaran (syubhat).
Untuk itulah, kejelasan dan sesuatu yang jelas, lebih wajib untuk diikuti daripada sesuatu yang samar. Maka, bebaskan dirimu dari rasa ragu.

Gerbang Ketiga: Bebas dari Rasa Takut

Ketakutan adalah bayang-bayang yang selalu menghantui manusia dalam setiap langkah manapaki hidupnya. Ia selalu membisik, menggelanyut dalam setiap tindakan yang akan kita ambil.
Ketakutan dan saudara-saudaranya, seperti cemas dan khawatir, berasal dari pemahaman akan hidup dan kepemilikan yang kurang tepat.
Orang yang bersikap seolah hidup ini bakal abadi, dan seolah apa yang ada padanya adalah miliknya, lebih sering mengidap penyakit ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran.
Sebaliknya, orang-orang yang sadar benar bahwa tidak ada sesuatu yang abadi, bahwa apa yang ada padanya hanya titipan, yang suatu saat bisa diambil, tentu akan lebih siap untuk tidak mengidap penyakit ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran.
Masalahnya, sejak kecil kita telah dididik untuk terbiasa mencerna yang material, tanpa terbiasa menerima yang spiritual ghaibiyah. Sehingga ruang gerak kita begitu terbatasi oleh apa yang bisa dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan dirasakan oleh tangan, hidung, dan lidah kita. Itu yang menyebabkan kita menjadi sangat material, padahal sebenarnya petensi ruhani kita lebih besar dan seharusnya lebih dominan.
Obat penyakit ini adalah zuhud. Ya, tidak meletakkan yang material bendawi sampai ke hati. Di dalam hati, cukup hanya untuk tahta Allah saja. Sehingga kita bisa menguasi segala yang material tanpa bayang-bayang ketakutan.

Gerbang Keempat: Bebas dari Rasa Sedih

Dalam kehidupan, terlalu banyak penderitaan, cobaan, ujian, dan sebagainya. Itu betul, jika kita menganggap demikian.
Kesedihan berawal dari berkurangnya sesuatu atau berbedanya realitas dengan ide yang kita impikan. Mimpinya si jadi ranking satu, eit kenyataan, ga ranking sama sekali, itu membuat kita sedih.
Mimpinya si jadi orang kaya, eit, sepatu aja Cuma satu, bolong-bolong lagi. Sedih lagi.
Mimpinya si, hidup ini berjalan mulus, apa-apanya lancar, semua bisa terlaksana dengan gemilang dan sukses. Tidak ada cerita kegagalan, badan sehat, rejeki ngalir kayak banjir, masalah jauuh. Eit, kenyataannya, ga ada yang serupa dengan apa yang diimpikan. Sedih banget.
Kesedihan juga muncul tatkala kita udah kejangkit penyakit senang membandingkan. Membandingkan diri dengan orang yang punya mobil, kita ga punya, sedih lagi. Membandingkan si dia yang cantik, kita muka pas-pasan, remuk deh perasaan kita. Macam-macam kesedihan, semuanya berhulu dari yang namanya ‘keinginan’.
Dunia rusak karena manusia yang tak henti-hentinya memperturutkan hawa nafsu keinginan. Orientasinya jelas, material bendawi, kenikmatan duniawi. Semua yang menghasilkan kebahagiaan semu, yang dangkal dari makna.
Obatnya hanya satu. Sabar. Dengan sabar, kita berlatih mengendalikan keinginan, mengelola kehendak, dan meredam keputusasaan.
Kesedihan, kekecewaan, dan rasa gagal, semua itu adalah keniscayaan hidup yang tidak bisa seseorang hindari. Maka, bersabar adalah pilihan terbaik. Bahwa kita mengakui kelemahan, mengakui ketidaksempurnaan, bahwa kita membutuhkan pertolongan Nya setiap saat.
Sabar tidak ada batasnya, karena sabar erat kaitannya dengan iman. Dan iman tidak memiliki batas, bukan?

Gerbang Kelima: Bebas dari Rasa Malu

Konon, seseorang lebih takut malu, daripada takut dosa. Malu karena dilihat secara nyata, sedangkan dosa, biasanya gak kelihatan. Jadi seseorang akan lebih mati-matian dalam menjaga dirinya dari rasa malu, daripada menjaga diri dari dosa.
Rasa malu, muncul dari tersibaknya, atau terlihatnya kekurangan dan ketidaksempurnaan diri dihadapan orang lain. Sekali lagi, belenggu-belenggu jiwa bernama malu ini selalu berkaitan dengan orang lain. Disini berbeda dengan malu kepada diri sendiri, atau malu kepada Tuhan, malu yang seperti itu justru dianjurkan. Namun, kebanyakan kita malu kepada manusia. Nah inilah yang dimaksud malu sebagai belenggu, malu karena gengsi, malu demi keangkuhan diri. Malu yang seperti ini, hulunya adalah kesombongan. Merasa diri sempurna, sehingga mati-matian menjaga citra.
Malu jenis ini, sungguh-sungguh menghilangkan nurani dan suara hati. Jiwa tak mungkin akan nampak apa adanya.
Rasa malu ini akan cepat menjadi sikap-sikap kemunafikan, kepura-puraan, dan menampilkan diri biar terlihat wah.
Seseorang akan semakin kehilangan dirinya, jika mempertahankan rasa malu jenis ini. Setiap hal berusaha ia tutup-tutupi demi citra. Ini seperti menambal muka dengan bedak dari kotoran hewan.
Malu jenis ini, pada dasarnya karena diri kurang bersyukur. Kurang menerima apa adanya.
Setiap orang hendaknya memahami, bahwa kesempurnaan adalah milik Allah, dan sebagai manusia kita bisa saja salah. Sebagai manusia pun, kita pasti punya kekurangan. So, biasa aja lah. Jika salah, segeralah minta maaf, jika ada kekurangan, katakan apa adanya. Toh bukan manusia yang akan menjadi juri penilaian kita.
Allah lah yang akan menilai, gerak hati kita. Allah pula yang akan memberikan kita kemuliaan. Bukan manusia.
Sikap malu tersebut akan tetap ada jika orientasi jiwa kita masih manusia. Malu jika gagal ujian, maka menghalalkan segala cara biar berhasil. Malu jika tersaingi teman, maka berusaha menjatuhkan teman. dsb.
Maka hadapkanlah wajahmu kepada Allah, rubah orientasi jiwa hanya kepadaNya.
Bersyukurlah untuk setiap keadaan yang kita alami, untuk setiap kekurangan yang kita miliki, insyaAllah, hati menjadi lapang.

Gerbang Keenam: Bebas dari Rasa Benci

Setelah seseorang melewati gerbang pertama hingga kelima, seeorang akan diuji dengan rasa benci. Kebencian adalah rasa yang timbul karena melihat sesuatu yang menyimpang dari apa yang kita ketahui. Seseorang membenci orang yang mencuri, karena tahu bahwa mencuri itu perbuatan yang menyimpang. Kebencian adalah tindak lanjut dari kesedihan dan kekecewaan yang tidak segera diobati dengan kesabaran, dan ditambah rasa malu yang berasal dari gengsi yang tidak segera diobati dengan rasa syukur. Sehingga, kebencian ini sungguh-sungguh menyiksa pemiliknya, dan menimbulkan berbagai macam kemarahan. Hal-hal yang tidak sesuai menurut kita, segala yang salah menurut cara berpikir kita, bisa menjadi objek-objek kebencian. Rasa benci, disadari atau tidak merupakan pengembangan dari rasa dengki, meski sedikit.
Obatnya adalah cinta. Cintai setiap hal, cintai segala sesuatu, cintai semua orang, dan sadarlah bahwa kita bukan pengatur segalanya, kita tak selalu benar, orang yang salah tidak selalu salah. Setiap sesuatu pasti ada hikmahnya.


Gerbang Ketujuh: Bebas dari Rasa Tergantung

Ketergantungan menjadi gerbang yang paling sulit untuk dilalui. Ketergantungan kepada manusia, menjadikan sulit untuk berserah kepada Allah sepenuhnya. Ketergantungan kepada benda, menjadi beban yang sungguh merepotkan. Ketergantungan kepada kesenangan hidup, membuat kita dilanda kegelisahan menghadapi kematian.
Ketergantungan berawal dari diri yang merasa memiliki kelemahan, sehingga mencari kekuatan diluar diri. Diri yang tak punya kepercayaan diri selalu mencari sandaran kepada hal-hal lain yang lebih kuat, lebih bisa membantu, dengan hasil yang nyata dan terindra.
Pada dasarnya ketergantungan boleh-boleh saja, asalkan kepada sesuatu yang pantas dan sempurna. Pemilik segala daya dan kekuatan, pengatur semesta raya, yakni Tuhan.
Tergantung kepada manusia menjadikan diri kita hina, sementara tergantung kepada Tuhan membuat diri kita mulia.
Banyak manusia yang sebenarnya mulia, tanpa sadar menurunkan derajat kemuliaannya dengan meminta-minta, dengan memohon-mohon, bahkan sampai ada yang meminta-minta kepda jin dan setan untuk mengabulkan hajat kebutuhannya. Dia tidak sadar, bahwa jin dan setan, punya derajat yang lebih rendah.
Obat dari ketergantungan adalah ridho, berserah kepada Allah. Kerelaan untuk menerima ketentuan Tuhan, dan qanaah (merasa cukup) dengan rizqi yang Dia berikan merupakan tanda bahwa hati hanya bergantung kepadaNya. Kesuksesan tidak tergantung pada ujian, gelar, pangkat, sekolah, dan sebagainya. Orang yang menjaga dengan baik agamanya, menjaga rasa tawakalnya, insyaAllah, akan diberikan segala kemudahan dan kesuksesan. Amin.

Jamus Mantyasih: Tauhid Pembebasan

Setelah melewati tujuh gerbang, maka sampailah di Padepokan Mantyasih. Seorang lelaki akan menyambutmu dengan kehangatan dan mengajarkanmu Jamus Mantyasih.
“Dengan menyebut Nama Allah (Iman), yang Maha Rakhman dan Maha Rahim (cinta dan kasih)”.
Setiap hal yang terjadi padamu adalah bukti dari cinta kasih Allah yang sangat luas. Keyakinanmu akan kebaikanNya akan menuntunmu memiliki sifat cinta dan kasih. Dan keyakinanmu akan kebaikan segala sesuatu akan membuatmu gemar menyebarkan cinta dan kasih ke segenap penjuru alam.
Semuanya ada dalam cakupan cahaya kebaikan. Keburukan hanyalah bayang-bayang yang muncul karena kau meletakkan benda di depan cahaya.
Keburukan hanyalah buih yang tak punya eksistensi, dan senantiasa memanfaatkan samudra kebaikan untuk mengada. Maka, saksikanlah, bahwa kebaikan ada dimana-mana. Tanpa kebaikan, segalanya akan rusak binasa. Kehidupan dan segala aktifitasnya sudah lama hilang dan hancur lebur tanpa adanya kebaikan. Meskipun kau melihat banyak ketimpangan, kejahatan, kecurangan, dan ketidakadilan, lihatlah, lihatlah dengan penuh ketelitian. Lihatlah dengan mata batin yang bening tanpa hawa nafsu ataupun rasa amarah. Lihatlah dengan penuh kearifan. Niscaya kau akan melihat kemilau cahaya kebaikan yang tak terhalang.
Allah senantiasa mengurus hamba-hamba Nya. Maka sudah sepantasnya bagi hamba untuk berbaik sangka.
Di dalam kejahatan, ada energi kebaikan yang terselubung kabut materi, maka singkaplah dengan kecerdasan nurani dan ruhani, agar benda hilang, musnahlah bayang-bayang, memancarlah cahaya yang sangat terang.
Setiap saat dipenuhi kebaikan, setiap hal dipenuhi cinta dan kasih. Hidupkan nyala keyakinan akan cinta dan kasih kebaikan, kau akan mampu melihat, sesuatu dibalik sesuatu, tanda dibalik tanda.
Dirimu akan bebas! Bebas dari rasa bersalah, rasa ragu, rasa takut, rasa sedih, rasa malu, rasa benci, dan rasa tergantung.
Percayalah hanya kepada kebaikan. Penuhi pikiranmu hanya dengan persangkaan yang baik. Jaga perasaanmu untuk tetap baik. Maka lihatlah, hidupmu pun akan dipenuhi cahaya kebaikan. Cahaya cinta dan kasih.
Demikianlah jamus mantyasih telah selesai diajarkan. Laluilah tujuh gerbang secepat kilatan.

_____________________________________________
Materi ini adalah modul yang digunakan dalam Training Mantyasih. Materi ini disusun oleh Muhammad Zainur Rakhman, Consultan dan Trainer, sekaligus pemilik dan direktur MANTYASIH CENTER, sebuah Lembaga Training yang bertujuan menyebarkan ajaran Mantyasih ke segenap penjuru Bumi. Ajaran ini bersifat spiritual universal. Meskipun diletakkan dalam dasar-dasar agama Islam, namun ajaran ini dimaksudkan untuk seluruh manusia, tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama. Ajaran ini dimaksudkan sebagai metode penemuan dan pembebasan diri, guna mewujudkan manusia berkarakter, otentik dan merdeka. Sekali-kali, bukan dimaksudkan sebagai agama baru atau mazhab baru. Ajaran ini merupakan hasil perenungan Muhammad Zainur Rakhman. Semoga bermanfaat, dan menjadi keberkahan bagi kita semua.

MANTYASIH CENTER hanya menyediakan materi, metode dan trainer, selebihnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan acara, sarana,akomodasi dan tempat ditanggung oleh pihak pengundang. Oleh karena itu, kerjasama dengan lembaga dan event organizer, merupakan kesempatan yang masih kami buka lebar-lebar. Adapun standar ideal kami adalah,
* Waktu : 2 sesi @ 90 menit (Sesi pertama untuk training, sesi yang kedua untuk mentoring dan tanya jawab)
* Jumlah Peserta : 40-41 orang
* Usia Peserta : 15-40 tahun
* Segmentasi : Perusahaan, Organisasi, Instansi, dsb.
* Tindak Lanjut : Pertemuan Kelompok Mandiri, rutin setiap dua pekan sekali, selama 10 x pertemuan.
* Royalti Fee : Sesuai Kesepakatan, khusus untuk Organisasi Rohis SMA/ MA, GRATIS.



Oase Waqi’ah: Penangkal Miskin
Oleh Muhammad Zainur Rakhman


Pengantar

Surat al Waqi’ah, surat ke 56, terdiri dari 96 ayat. Tarjamah untuk waqi’ah adalah hari kiamat. Memang dalam gambaran umumnya, surat ini bercerita tentang kejadian hari kiamat. Namun, secara spesifik, surat ini mengetengahkan tentang nasib manusia berdasarkan pilihan hidupnya dalam kaitannya dengan jati diri fitrah kemurniannya. Setiap manusia lahir membawa keimanan. Kelahiran seorang anak Adam benar-benar merupakan berkah bagi bumi, karena hal itu berarti seorang wakil Allah telah bertambah.
Manusia adalah wakil Allah, karena ruh kemuliaan yang dititipkan oleh Nya. Sebuah tajalli yang paling sempurna hingga malaikatpun diwajibkan sujud padanya. Bukan kepada jisim material, melainkan kepada ruh kemuliaan, yang mengandung sir (rahasia): Allah Maha Mengetahui apa yang Dia ciptakan.
Maka tatkala diingatkan dengan kalimah “idza..”, manusia diberikan gambaran tentang waqi’ah (kiamat); sesuatu yang berada di ujung kehidupan. Agar setiap jiwa kembali mengingat asal muasalnya. Bukankah awal dan akhir berada dalam satu garis? Mengingat yang akhir, membawa kembali kepada yang awal. Ini hanya soal persepsi. Tepatnya, yang awal adalah yang akhir, sebagaimana kesempurnaan adalah tatkala tidak sempurna.
Makna kiamat, menjurus kepada dua hal, berakhirnya hidup jagad semesta, dan berakhirnya hidup seseorang. Jagad semesta yang bisa jadi secara material lebih besar, sebenarnya berada dalam jagad kecil insan.
Hanya orang-orang yang citra materialnya sangat kuat, yang memiliki anggapan bahwa jagad semesta lebih besar dari jagad manusia. Sehingga, kiamat alam semesta, hanya akan dirasakan oleh orang-orang ini.
Orang-orang yang beriman tidak akan merasakan kehancuran semesta, karena kesadaran ilahiahnya begitu besar sehingga meliput seluruh semesta. Semesta menjadi kecil. Bahkan mereka (orang-orang yang beriman), hanya akan merasakan kiamat pada jagad kecilnya (lepasnya nyawa) seiring berhembusnya angin dari arah Yaman (demikian disebutkan dalam hadits).
Citra material berkaitan erat dengan timbunan-timbunan noda berdasarkan pilihan yang salah tentang arah, atau kesombongan khas iblis yang diakibatkan selalu menjauhnya dari cahaya.
Maka dengan pengingatan ini, kiranya seseorang tidak perlu menunggu, saat-saat “laisa liwaq’atiha kaadzibah”. Karena tentu saja, saat itu adalah saat-saat penuh kemiskinan. Isyarat kesengsaraan abadi yang sungguh ngeri.

Meninggikan dan Merendahkan

Khaafidhoturrofi’ah. Saat itu adalah saat meninggikan suatu golongan, dan merendahkan golongan yang lainnya. Ketinggian adalah simbol kemuliaan, suatu tempat dimana kehormatan berada. Berbeda dengan kerendahan, dimana ia menjadi tanda dari kehinaan dan tidak adanya kehormatan.
Golongan yang ditinggikan tentu saja karena mereka terbiasa merendahkan sayap-sayap mereka, khudu’ dan khusyu’ berhadap-hadapan dengan Allah. Mereka taat, mereka mengharap rahmatNya, karena mereka memahami diri. Sedangkan golongan yang direndahkan, tentulah mereka yang terbiasa meninggikan diri mereka terhadap larangan dan perintah Allah. Kepala mereka mendongak, tidak mau bersujud, akibatnya mereka berjalan dengan kepala; mata hati yang biasa buta, terbentur batu-batu selamanya.


Tiga Golongan

Wa kuntum azwaajan tsalaatsah. Golongan yang ditinggikan terbagi menjadi dua: assabiquunassabiqun dan ashhabul maimanah. Sedangkan golongan yang direndahkan adalah mereka yang disebut ashhabul masy amah.
Golongan elit, yakni mereka yang paling dahulu menyambut seruan keimanan. Merekalah al muqorrobun, orang-orang yang didekatkan. Begitu tingginya golongan ini, hingga disebutkan, “tsullatum minal awwalin, wa qaliilum minal akhirin” golongan elit ini hanya terdiri dari sebagian besar orang-orang yang terdahulu, dan sebagian kecil orang-orang yang terkemudian.
Tidak kalah beruntungnya bagi ashhabul maimanah atau golongan kanan. Ternyata proporsinya adalah “tsullatum minal awwalin, wa tsullatum minal akhirin” sebagian besar orang-orang terdahulu, juga sebagian besar orang-orang yang terkemudian.
Dan kesengsaraan, sungguh sengsara bagi ashabul masy amah atau golongan kiri. Tidak disebutkan proporsinya bisa jadi karena terlampau banyaknya.
Tiga golongan inilah yang akan manusia masuki. Seseorang bisa saja menjadi golongan elit, al muqorrobun, atau golongan kanan, atau golongan kiri.
Sebagaimana pilihan dalam hidup, ada orang-orang sangat mencintai dunia hingga lupa akhiratnya, merekalah calon golongan kiri. Ada pula yang mencintai dunia namun juga tidak melupakan akhiratnya, hati mereka masih terlimput oleh duniawi, namun mereka masih senantiasa mengingat Allah. Mereka membagi hidupnya untuk mengumpulkan dunia dan juga tidak lupa mengumpulkan bekal akhirat. Rahmat Allah meliputi mereka sehingga “Fasalamullaka min ashhabil yamin.” Merekalah golongan kanan.
Dan akhirnya, adalah mereka sangat merindukan akhiratnya, dunia sudah tidak memiliki tempat dihati mereka, rizqi mereka dijamin. Merekalah al muqorrobun.

Afaraayta?

Afaraitummaa tumnun ? Maka jelaskanlah, tentang nutfah yang kamu pancarkan. Inilah sebuah tantangan Allah dalam karunia pengingatan. Terangkan tentang nurfah (mani) yang kemudian menjadi segumpal darah, menjadi seonggok bayi, yang bisa melihat dan mendengar, menjadi dirimu. Siapa yang menjadikan demikian? Kamukah yang menjadikan atau Allah yang menjadikan. Allah yang telah menciptakan kita ke dunia, dan Allah pula yang yang akan menciptakan kita di akhirat. Maka, mengapa manusia tidak mengambil pelajaran tentang penciptaan kedua mereka diakhirat, padahal mereka tahu tentang penciptaan mereka ke dunia. Berikutnya Allah menantang sebuah penjelasan, Siapa yang membuat tanaman menjadi tumbuh besar? Tentang air yang kita minum, Siapa yang menurunkan hujan dari awan? Siapa yang membuat airnya tidak terasa asin? Kamukah atau Allah? Mengapa manusia tidak bersyukur? Terangkan tentang api yang dapat menyala dari sebuah kayu, kamukah atau Allah yang membuat kayu itu? Beragam gebrakan dari Allah untuk mengingatkan kita, menukikkan kesadaran kita tentang hakikat jati diri kita dengan menghadapkan pada kebesaran ciptaan Nya. Memang siapalah kita?

Qasam Allah

Laa uqsimu bi mawaaqi ‘innujum. Allah bersumpah demi tempat orbit bintang-bintang, ada yang menterjemahkan demi masa turunnya bagian-bagian al Qur’an, karena al Qur’an turun berangsur-angsur, dan setiap masa berkaitan erat dengan perputaran bintang pada tempat beredarnya sebagai petunjuk waktu. Manusia bersumpah dengan Nama Allah, sedangkan Allah bersumpah dengan nama ciptaan Nya. Seperti, demi masa, demi waktu dluha, demi malam. Sekali lagi untuk mengingatkan kita tentang sifat keterbatasan makhluq dan sifat kesementaraan alam.
Wa innahu laqosamullau ta’lamuunal ‘adhim, sesungguhnya sumpah ini kalau kamu tahu, adalah sebuah sumpah yang agung.
Betapa tidak? Allah tidak main-main dengan sumpahNya. Setiap bintang beredar pada garis edarnya, begitu juga manusia, telah memiliki jalannya masing-masing. Demi tempat berjalannya manusia dari kelahiran sampai kepada kematian, dengan beragam jalan yang khas yang ditempuh setiap individu, maka hendaklah seseorang memperhatikan jalannya, jalan hidupnya.
Mawaqi’ setiap manusia begitu gamblang bagi mereka yang mengenal diri. Posisi dan darajah yang disadari betul oleh, hanya mereka yang menukik kesadaran ilahiyahnya. Karena sejatinya, manusialah bintang yang bercahaya itu; jika sempurna iman.

Fie Kitaabin Maknun

Innahu laquraanun kariem. Sesungguhnya, al Qur’an ialah bacaan yang sangat mulia. Muara sekaligus hulu setiap ilmu pengetahuan yang benar, menilap habis ilmu pengetahuan yang sesat. Segala sesuatu ada di dalamnya, dan dialah cahaya pada hari dimana kegelapan merata pekat.
Sebagai bacaan, al Qur’an menyajikan sisi keindahan, dan pembersih sekaligus obat bagi mereka yang membaca namun tidak memahami artinya. Dan menyajikan lapis-lapis hikmah dan jawaban atas semua pertanyaan bagi mereka yang membaca dan memahami bacaannya. Lepas dari itu semua, keduanya, baik yang memahami maupun yang tidak berada dalam porsi keunggulannya masing-masing. Masing-masing akan mendapatkan cahaya, mendapatkan penyembuhan, dan berjalan dalam bingkai hikmah, dengan disadari (bagi yang memahami bacaannya), dan dengan tanpa disadari (bagi mereka yang tidak memahami). Yang jelas keduanya otomatis berada di rel keselamatan menuju titik cahaya.
Dan yang memiliki kebun, ialah mereka yang memiliki hafalan. Maka bagi pemilik kebun, ada yang bisa menikmatinya dengan cara memakan buahnya, dan menikmatinya dengan hanya merasa senang tatkala memandangnya. Kedua-duanya adalah pemilik. Yang pertama, ialah mereka yang memiliki hafalan dan memahami hafalannya, yang kedua, adalah mereka yang memiliki hafalan tapi tidak memahami hafalannya. Kedua-duanya adalah pemilik kebun, keduanya sama-sama bahagia.
Bacaan yang mulia, ada pada kitab yang terpelihara, yakni dengan menghafalnya. Tidak boleh menyentuhnya, kecuali orang-orang yang disucikan. Orang yang disucikan ialah mereka yang menginginkan kesucian dan berusaha sungguh-sungguh kepadanya. Tidak akan berfaedah apa-apa (al Qur’an) bagi mereka yang hanya ingin bermain-main, dan menggunakannya sebagai bahan olok-olokan. Maka niat ialah penentu segala sesuatu setelahnya. Bagi mereka yang meremehkan al Qur’an, berarti mereka telah mengganti rizki yang baik dengan rizki yang buruk. Mereka mendustakan dan selalulah mereka mengingkari, padahal bacaan ini turun dari Tuhan pemilik seluruh alam.
Hal itu karena hawa nafsu telah menjadi tuhannya.

Kadzib wa Dlaallin

Tsumma innakum ayyuha dlaalliin al mukadzibun. Inilah bagian mereka bagi yang suka mendustakan lagi sesat. Medustakan nasehat, mendustakan kebenaran, mendustakan kejujuran, mendustakan kehormatan, sehingga mereka meluncur menuju jurang kehinaan. Mereka memakan buah zaqum yang berduri, mereka memenuhi perutnya dengan zaqum, dengan kedengkian, kesombongan, syahwat, dan kesenangan dunia. Dan mereka meminum air yang sangat panas, mereka senang dengan barang dan sesuatu yang haram, mereka minum seperti unta yang haus, keadaan diri mereka sudah seperti binatang, karena mereka selalu memperturutkan keserakahan dan sikap berlebih-lebihan. Itulah hidangan kehinaan untuk mereka. Yang sesat dan mendustakan, berada pada naungan yang sempit, karena mereka terbiasa hidup bermewah-mewah. Dan mereka mengerjakan dosa hingga dosa-dosa itu menimbunnya, dan mereka tidak yakin akan dibangkitkan setelah mati. Celakalah mereka!

Surga Keni’matan

Fie jannaatin na’im. Surga sendiri sudah sangat menyenangkan, apalagi surga kenikmatan, surganya surga. Diperuntukkan bagi al muqorrobun, golongan orang-orang yang paling dahulu beriman. Yang senantiasa mengambil kesempatan pertama dalam kebaikan, yang hatinya bersegera dalam memenuhi panggilan kebaikan. Beban-beban keduniaan sudah terangkat dan hilang dari sayap-sayap mereka, sehingga mereka bisa terbang bebas. Rizki mereka tidak terbatas di tanah. Karena mereka bisa terbang dan memetik buah-buahan di pepohonan yang tinggi, sayap mereka mengepak ringan mengunjungi siapapun yang membutuhkan pertolongan. Wala khoufun ‘alaihim walaa hum yahzanun. Tiada ketakutan dalam diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Merekalah yang senantiasa menantikan azan dikumandangkan dari dalam masjid, merindukan panggilan sholat, sementara mereka selalu siap dengan pakaian yang terbaik, berada di dalam rumah Allah. Kepala-kepala mereka tertunduk karena setiap saat berhadap-hadapan dengan Allah. Pertobatan mereka sungguh mengagumkan, sedekah mereka tidak tanggung-tanggung. Mereka menyediakan diri mereka sendiri untuk Allah. Tidak takut akan celaan para pencela. Maka, sungguh pantas, mereka mendapatkan “qiilaan salaaman salaama ” Selamat!


Fasabbih Bismi Rabbikal ‘Adhim

Fasabbih bismi rabbikal ‘adhim. Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Agung. Menyebut ialah mengingat sekaligus melafalkan. Dalam keduanya terdapat proses penyebaran jaring-jaring. Jejaring yang pertama merengkuh hati dan pikiran sehingga hati menjadi bening, pikiran menuju kemurniannya. Hati dan pikiran terhubung dengan langit, mengikuti setiap kehendakNya, meraup segala hikmah yang banyak, mengokohkan tiang-tiang pancang petunjuk, dan menguatkan tali-tali maqbulnya doa. Sekaligus adalah meretasnya segala macam korosi dan polusi yang mungkin meliput sebagai akibat bergaul dengan banyak manusia yang belum tersucikan. Jejaring yang kedua, menggetar rahmat dan rizqi yang melimput seluruh udara, menangkap segala keberuntungan, menolak segala bala dan bencana. Memungkinan kasih lebih banyak terkembang, bagai layar kapal yang melajukan kapal kehidupan menuju surga impian. Sekaligus menetralkan bibit kebencian yang tersebar melalui mata-mata penuh amarah dan keserakahan.
Maka dengan menyebut Nama Nya yang Agung, segala hal bertekuk lutut terhadapmu, dan bahkan dirimu yang seringkali terkekang tali nafsu, terjebak pekatnya minuman godaan.
Dengan menyebut-nyebut Nya mengisyaratkan cinta, menggambarkan kerinduan, dan akhirnya mengguratkan ketenangan.
Murni, itulah asal muasal kita. Bertasbih berarti mensucikan diri, dari segala tali penghambat menuju Allah, yang sementara banyak orang terkatung-katung pada harapan dan angan kosong kepada selain Nya, bersandar pada lidi yang rapuh, kita mengosongkan hati kita, memberikan tahta sepenuhnya untuk Allah ar Rahman.
Maka sebutlah Nama Tuhanmu, sebutlah dengan penuh rasa kangen, sebut dengan keseluruhan isi surah waqi’ah yang agung, inna hadza lahuwal haqqul yakin, sesungguhnya inilah sebuah keyakinan yang benar, maka sebutlah, sebut berkali-kali.